proses sistem implementasi

Inovasi untuk Inklusi –
Pengenalan terhadap Proses Perubahan
Kjell Skogen
Inovasi; apa dan mengapa?
Mari kita mulai dengan mengutip UNESCO (1995) dengan merujuk pada Pernyataan
Salamanca tahun 1994:
Pernyataan Salamanca menuntut semua negara untuk mengadopsi prinsip pendidikan inklusif
ke dalam perundang-undangan atau kebijakan pemerintah, untuk menerima semua anak di
sekolah reguler kecuali bila ada alasan yang mendesak untuk melakukan sebaliknya dan untuk
memberi prioritas kebijakan dan anggaran tertinggi untuk meningkatkan sistem pendidikan
nasional sehingga memenuhi kebutuhan semua anak tanpa memandang perbedaan atau
kesulitan individualnya.
Fokus pada pembangunan sekolah yang dapat memenuhi kebutuhan setiap orang seperti
ini sering kali disebut sebagai sebuah perubahan menuju sekolah inklusif. Konsekuensi
yang diharapkan dari perubahan ini terhadap masyarakat menunjukkan bahwa pendidikan
luar biasa akan merupakan masalah yang relevan pada saat ini maupun masa yang akan
datang. Kebutuhan anak dan remaja penyandang cacat kemungkinan akan terus
memerlukan keahlian khusus. Oleh karena itu, faktor-faktor sosial dan politik ini akan
mempengaruhi kualifikasi yang harus dimiliki oleh guru-guru pendidikan kebutuhan
khusus, dan faktor-faktor tersebut akan penting untuk arena pekerjaannya di masa depan
(misalnya bermacam-macam jenis sekolah, tempat bekerja, dan kelompok sasaran). Guruguru
pendidikan kebutuhan khusus sendiri merasa bahwa pengetahuan dan keterampilan
dalam pekerjaan yang inovatif akan menjadi dasar penting. Di Norwegia, tema tersebut
sudah diperkenalkan sejak tahun 1976 dalam training guru pendidikan kebutuhan khusus
pada Jenjang S3. Guru pendidikan kebutuhan khusus mempunyai tanggung jawab khusus
untuk memperoleh pengetahuan yang memungkinkan mereka dapat memenuhi
tantangan etis untuk bekerja ke arah perubahan-perubahan atas nama orang lain –
perubahan berdasarkan kebutuhan penyandang cacat.
Ini akan menjadi tantangan yang besar, baik bagi para profesional di bidang pendidikan
kebutuhan khusus maupun bagi para pembuat kebijakan.
Terdapat banyak cara untuk melakukan pendekatan terhadap bidang inovasi. Kita telah
memilih tiga macam pendekatan. Ini berarti bahwa kita tidak akan dapat membahas
secara rinci ketiga pendekatan itu, tetapi hanya memberikan pengenalan pada karya
inovasi. Ketiga pendekatan tersebut adalah:
• Pendekatan Definisi
• Hambatan terhadap Inovasi
• Strategi Inovasi
(Skogen 1997).
Pendekatan Definisi
Pendekatan definisi terhadap suatu masalah adalah yang paling umum dalam tradisi
akademik. Penjelasan tentang apa yang kita ketengahkan itu penting sehingga si pengirim
dan penerima pesan dapat memiliki titik awal yang sama. Dalam artikel ini interpretasi
tentang inovasi berikut ini akan diterima:
Inovasi adalah perubahan yang direncanakan, yang bertujuan untuk memperbaiki praktekpraktek.
Pemilihan istilah inovasi bukan suatu kebetulan. Kita dapat saja memilih untuk
menggunakan kata-kata seperti pekerjaan pengembangan, pengembangan sekolah,
perubahan pendidikan atau reformasi. Demi menghindari makna konotatif yang sudah
melembaga dalam bidang pendidikan tradisional, kita memilih istilah inovasi. Dengan
demikian kita dapat berada pada posisi yang lebih bebas untuk memberikan isi yang
mandiri kepada istilah tersebut. Lebih jauh, inovasi adalah kata internasional yang telah
merambah ke bahasa Norwegia dengan sangat cepat dalam berbagai bidang profesional
dan keorganisasian. Penting untuk ditekankan bahwa perubahan pada praktek yang ada
harus didasarkan atas fondasi profesionalisme dan tingkat keahlian yang tinggi dalam
bidang yang bersangkutan.
Kata kunci dalam inovasi adalah perubahan. Perubahan dapat diimplementasikan dalam
kaitannya dengan semua jenjang dan sektor di bidang yang bersangkutan.
Perubahan dapat terjadi secara kebetulan dan tidak sistematis, tetapi agar perubahan
dapat disebut sebagai inovasi, perubahan tersebut harus mengandung unsur kesadaran
dan perenungan yang kuat. Di sinilah kata perencanaan digunakan. Ini berarti bahwa kita
harus tahu apa yang ingin kita ubah, mengapa dan bagaimana caranya. Kita harus tahu ke
mana kita akan pergi atau dengan kata lain: kita harus memiliki sasaran yang sudah
ditetapkan secara jelas. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa kita dituntut secara mutlak
untuk merencanakan setiap langkah dalam perubahan itu sebelumnya. Tuntutan semacam
ini akan sulit untuk dipenuhi.
Kita dapat saja berhenti di sini dan mendefinisikan inovasi sebagai suatu perubahan yang
direncanakan. Namun, agar perubahan itu mempunyai tujuan, penting untuk
mengaitkannya pada sesuatu hal – dan haruslah sesuatu yang lebih baik daripada
sebelumnya. Inovasi adalah mengenai suatu perubahan yang direncanakan, yang bertujuan
untuk memperbaiki.
Unsur lain yang tercakup dalam definisi ini adalah praktek. Alasan untuk memberi
penekanan pada tindakan praktek adalah bahwa hal ini merupakan bagian yang sangat
penting dari proses perubahan. Transisi dari ide atau rencana menjadi realitas, dari solusi
yang terpersepsi menjadi solusi yang diimplementasikan sering kali merupakan bagian
yang tersulit. Setiap orang dapat memikirkan dan menggambarkan suatu perbaikan, tetapi
mengubah ide menjadi realitas itu lebih sulit dan memerlukan kemampuan lebih banyak.
Ketua Mao menyatakannya seperti ini: “ Sebuah revolusi memerlukan pekerjaan tindak
lanjut selama 500 tahun”. Dengan kata lain, mengubah ide-ide menjadi kenyataan
merupakan tugas yang rumit dan perlu waktu. Banyak upaya untuk inovasi dihentikan
sebelum mencapai realitasnya. Oleh karena itu, harus juga menjadi tujuan bahwa inovasi
harus memiliki konsekuensi praktis yang bertahan lama. Baiknya sebuah ide tidak cukup
untuk menjamin bahwa perubahan akan terjadi.
Istilah inovasi sangat umum digunakan dalam literatur untuk menggambarkan perubahan
dan perbaikan dalam organisasi dan sistem. Kata tersebut jarang dipergunakan dalam
kaitannya dengan individu. Definisi inovasi sebagai suatu perubahan yang direncanakan, yang
bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan praktek, memunculkan hubungan
tertentu yang problematik. Pertanyaan pertama yang harus diajukan adalah: perbaikan
untuk siapa? Ini merupakan hal yang penting dalam semua pekerjaan pengembangan dan
perbaikan. Dalam banyak inovasi, perubahan akan mengarah pada perbaikan bagi
sebagian orang, sedangkan untuk sebagian lain mungkin tidak relevan, dan untuk pihak
ketiga perubahan itu justru dapat mengarah pada memburuknya situasi. Mereka yang
menjalankan bisnis inovasi [para inovator] harus menyadari hal ini dan
mempertimbangkan fenomena tersebut.
Hambatan terhadap Inovasi
Pendekatan kedua terhadap karya inovasi adalah hambatan yang berkaitan dengan
inovasi. Pengalaman menunjukkan bahwa hampir setiap organisasi memiliki semacam
mekanisme pemeliharaan diri dan penolakan terhadap perubahan. Dengan kata lain,
semakin lama taman kanak-kanak dan sekolah akan mengembangkan caranya sendiri
untuk berfungsi. Ini relatif menetap dan segala sesuatunya lebih disukai tetap seperti
adanya saat ini. Misalnya, cara mereka memecahkan masalah, alokasi tugas pekerjaan,
pengambilan waktu istirahat dan prioritas pendidikan mungkin akan sama dari tahun ke
tahun. Sebagian dari rutinitas dan aturan-aturan akan dituliskan dan diputuskan secara
formal, tetapi di samping itu akan ada juga aturan-aturan yang informal, tidak tertulis dan
bahkan tidak disadari. Ini akan tetap mempengaruhi dan mengendalikan apa yang terjadi
di dalam maupun di luar taman kanak-kanak dan sekolah.
Segera setelah ada pihak yang berupaya mengubah sebagian dari hal tersebut, penolakan
atau hambatan akan sering ditemui. Orang-orang tertentu dari dalam ataupun dari luar
sistem akan tidak menyukai, melakukan sesuatu yang berlawanan, melakukan sabotase
atau mencoba mencegah upaya untuk mengubah praktek yang berlaku. Penolakan ini
mungkin ditunjukkan secara terbuka dan aktif atau secara tersembunyi dan pasif. Alasan
mengapa ada orang yang ingin menolak perubahan walaupun kenyataannya praktek yang
ada sudah tidak bijaksana, bervariasi menurut interpretasinya tentang realitas atau teori
yang dipegangnya. Ada bab yang khusus membahas fenomena ini di hampir semua buku
teks yang membicarakan pekerjaan pengembangan atau inovasi. Fenomena ini sering
disebut sebagai penolakan terhadap perubahan. Banyak upaya telah dilakukan untuk
menggambarkan, mengkategorisasikan dan menjelaskan fenomena penolakkan ini. Kita
telah memilih untuk memfokuskan pada satu penjelasan tradisional tentang penolakan
tersebut, yaitu model hambatan. Kita akan menggambarkan empat macam kategori
hambatan dalam konteks inovasi. Keempat kategori tersebut adalah:
a) hambatan psikologis
b) hambatan praktis
c) hambatan nilai-nilai, dan
d) hambatan kekuasaan.
a) Hambatan psikologis
Hambatan-hambatan ini ditemukan bila kondisi psikologis individu menjadi faktor
penolakan. Hambatan psikologis telah dan masih merupakan kerangka kunci untuk
memahami apa yang terjadi bila orang dan sistem melakukan penolakan terhadap upaya
perubahan. Kita telah memilih untuk menggambarkan jenis hambatan ini dengan memilih
satu faktor sebagai suatu contoh yaitu dimensi kepercayaan/keamanan versus
ketidakpercayaan/ketidakamanan. Ini telah dipilih karena kita memandangnya sebagai
unsur inovasi yang sangat penting. Faktor-faktor psikologis lainnya yang dapat
mengakibatkan penolakan terhadap perubahan adalah: rasa bersalah, kebutuhan akan
pengakuan, keinginan untuk menguasai, pola peranan yang kaku dalam sistem sosial, pola
perilaku yang kurang pertimbangan atau tidak pantas yang dipertahankan berdasarkan
prinsip-prinsip imbalan tertentu, atau ketidaktahuan tentang masalah.
Dalam psikologi perkembangan, kemampuan seseorang untuk menangani perubahan
terkait dengan keyakinan dirinya yang mendasar. Secara sederhana, dapat diungkapkan
bahwa: semakin tinggi tingkat rasa aman seseorang, akan semakin baik pula orang itu
dalam menangani perubahan atau pergolakan di lingkungan sekitarnya. Misalnya,
perubahan itu mungkin akan tampak sebagai ancaman jika konsekuensinya adalah
penutupan tempat kerja. Kemampuan untuk mengatasi perubahan dalam situasi seperti
ini sangat tergantung pada adanya kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan lain.
Dalam deskripsi tentang faktor keamanan, penekanannya adalah pada pengembangan
citra diri. Jika orang yang bersangkutan pernah mempunyai pengalaman untuk menguasai
berbagai situasi baru dan menerima konfirmasi positif dari lingkungannya, maka rasa
keamanan dan citra dirinya akan semakin meningkat. Seorang individu yang kuat akan
lebih mampu bertahan dalam ketegangan situasi baru. Di pihak lain, orang yang sering
mengalami kegagalan akan merasa terancam oleh situasi baru. Orang ini menjadi kurang
fleksibel dan lebih mudah untuk menolak perubahan. Banyak orang tua yang
menggunakan pengetahuan ini dalam mengasuh anaknya. Jika diketahui bahwa seorang
anak akan dihadapkan pada perubahan besar dalam hidupnya, banyak orang tua akan
berupaya untuk mempersiapkan anak itu untuk menghadapi segala kemungkinan yang
akan datang. Secara bertahap anak itu akan memperoleh kecakapan untuk menguasai
situasi baru. Maka citra diri yang positif dan rasa aman, yang didasarkan atas pemahaman
tentang perubahan itu akan terbangun.
Kita dapat berasumsi bahwa di dalam suatu sistem sosial, organisasi atau kelompok akan
ada orang yang pengalaman masa lalunya tidak positif. Menurut para ahli psikologi
perkembangan, ini akan mempengaruhi kemampuan dan keberaniannya untuk
menghadapi perubahan dalam pekerjaannya. Oleh karena itu, ketakutan akan sesuatu
yang baru belum tentu terkait dengan hakikat perubahan yang sesungguhnya, tetapi
mungkin ditentukan secara psikologis. Faktor-faktor psikologis (rasa tidak aman, harga
diri yang negatif) dapat mengakibatkan seorang pemimpin merasa perlu memegang
kontrol atas rekan-rekan kerjanya. Jika sebuah inovasi berimplikasi berkurangnya kontrol
(misalnya diperkenalkannya model pimpinan tim atau kemandirian masing-masing
bagian), maka pemimpin itu biasanya akan memandang perubahan itu sebagai negatif dan
mengancam. Perubahan itu dirasakannya sebagai kemerosotan, bukan perbaikan.
Apa yang dapat diambil dari cara memandang dan menjelaskan penolakan ini? Bagaimana
para inovator seharusnya menghadapi orang-orang yang merasa tidak aman? Yang
pertama dan utama, sangat penting untuk mengenali faktor-faktor psikologis yang
mempengaruhi pekerjaan inovasi. Rasa aman atau tidak aman sangatlah penting untuk
ditangani. Inovator dapat berbuat banyak untuk membuat peserta dalam inovasi merasa
lebih aman dengan memberikan informasi. Penekanan yang besar harus diberikan pada
penjelasan tentang apa yang dapat terjadi. Di samping itu, penting untuk mencoba
mengemukakan tentang kemungkinan konsekuensi inovasi, baik bagi organisasi maupun
individu. Satu cara lain untuk membuat peserta merasa aman adalah dengan mencari tahu
hal-hal apa yang membuat mereka merasa tidak aman dan kemudian mencoba
mengatasinya. Mungkin akan menjadi jelas bahwa mereka merasa tidak cukup kompeten
untuk melakukan tugas baru, atau mereka khawatir kehilangan posisinya dalam organisasi.
Percakapan dengan tiap individu adalah cara yang memungkinkan untuk mengetahui
secara pasti faktor-faktor yang mengakibatkan rasa tidak aman itu. Misalnya kita dapat
bertanya: bagaimana menurut anda? Apa yang anda pandang penting untuk…? Menurut
anda apa yang akan terjadi jika…? Namun, upaya untuk mengadakan perubahan pribadi
yang mendalam dan ekstensif adalah di luar kompetensi guru. Penting untuk menerima
konsekuensi dari hal ini. Guru prasekolah, guru sekolah, pendidik khusus, konsultan dan
pihak-pihak lain yang bekerja dengan anak, remaja dan penyandang cacat seyogyanya
bekerja dengan metode dan dalam bidang keahliannya. Asesmen tentang kemungkinan
hambatan yang bersifat psikologis yang harus diatasi oleh inovator seyogyanya dilakukan
atas dasar hasil pemetaan/pengamatan terhadap hubungan-hubungan kontekstual. Ini
melibatkan pembentukan gambaran tentang sumber-sumber waktu, ekonomi, bidang
keahlian dan sumber-sumber sosial (lihat bagian tentang hambatan praktis) yang
dibutuhkan untuk mengurangi hambatan psikologis.
b) Hambatan praktis
Hambatan praktis adalah faktor-faktor penolakan yang lebih bersifat fisik. Untuk
memberikan contoh tentang hambatan praktis, faktor-faktor berikut ini akan dibahas:
1) waktu
2) sumber daya
3) sistem
Ini adalah faktor-faktor yang sering ditunjukkan untuk mencegah atau memperlambat
perubahan dalam organisasi dan sistem sosial. Hambatan praktis mungkin sangat menarik
untuk dibahas dalam kaitannya dengan inovasi dalam PLB. Sebagaimana telah
dinyatakan, PLB merupakan bidang yang fragmatis dan berorientasi pada tindakan.
Program pusat-pusat pelatihan guru reguler dan guru prasekolah juga sangat menekankan
aspek-aspek bidang ini. Ini mungkin mengindikasikan adanya perhatian khusus pada
keahlian praktis dan metode-metode yang mempunyai kegunaan praktis yang langsung.
Oleh karena itu, inovasi dalam bidang ini dapat menimbulkan penolakan yang terkait
dengan hambatan praktis atau yang didefinisikan sebagai bersifat praktis. Maka
tampaknya lebih logis bila kita memberikan informasi tentang kemungkinan adanya
penolakan daripada memberikan penjelasan tentang faktor-faktor psikologis, atau faktor
kekuasaan atau faktor nilai. Artinya, semakin praktis sifat suatu bidang, akan semakin
mudah orang meminta penjelasan tentang penolakan praktis. Di pihak lain, dapat
diasumsikan bahwa hambatan praktis yang sesungguhnya itu telah dialami oleh banyak
orang dalam kegiatan mengajar sehari-hari, yang menghambat perkembangan dan
pembaruan praktek. Tidak cukupnya sumber daya ekonomi, teknis dan material sering
disebutkan.
Dalam hal mengimplementasikan perubahan, faktor waktu sering kurang diperhitungkan.
Segala sesuatu memerlukan waktu. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengalokasikan
banyak waktu bila kita membuat perencanaan inovasi. Pengalaman menunjukkan bahwa
masalah yang tidak diharapkan, yang mungkin tidak dapat diperkirakan pada tahap
perencanaan, kemungkinan akan terjadi.
Banyak usaha pembaharuan telah dilakukan di dalam sistem pendidikan, yang setelahnya
menyingkap pentingnya dimensi waktu. Pembaharuan sering didefinisikan sebagai inovasi
berskala besar atas dorongan pemerintah. Pihak otoritas merasa bahwa terdapat masalah
umum di dalam negeri atau di dalam praktek-praktek kelompok yang memerlukan
perubahan. Satu contoh masalah yang umum adalah bahwa penyandang cacat tidak
mendapatkan bantuan dan dukungan yang mereka perllukan untuk dapat hidup mandiri
dan bertujuan. Praktek-praktek suatu kelompok mungkin adalah bahwa laki-laki yang
terutama memegang posisi pemimpin pada tingkat komunal atau desa, atau bahwa
perempuan pada usia tertentu membentuk kelompok mayoritas yang bekerja di taman
kanak-kanak. Untuk mengubah praktek yang berskala nasional tersebut, pihak otoritas
berinisiatif untuk mengadakan pembaharuan. Diberlakukannya undang-undang dan
kebijakan baru dapat dipandang sebagai satu jenis pembaharuan yang bertujuan untuk
memperbaiki realitas. Inovasi terutama digunakan untuk menciptakan perubahan
terencana yang dilakukan di dalam satu organisasi atau di dalam sistem sosial yang lebih
kecil atau lebih besar. Untuk semua jenis upaya perubahan, waktu merupakan faktor yang
menentukan.
Apresiasi terhadap fenomena waktu dalam kaitannya dengan perubahan, sebagaimana
halnya dengan kaitan-kaitan lain, merupakan hal yang penting dalam evaluasi terhadap
energi dan ekspektasi diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, sangat bijaksana
untuk mempersiapkan diri sebagai inovator ataupun orang lain (termasuk mereka yang
akan terkena dampak inovasi) untuk kenyataan bahwa segala sesuatu tidak akan berubah
ke arah yang lebih baik secepat yang kita inginkan. Tentu saja dalam prakteknya ada juga
perubahan yang menyebar dan menjadi kenyataan secara cepat. Ini tergantung pada
seberapa cepat kita dapat menyepakati suatu strategi, besarnya sistem yang akan dikenai
perubahan, dan luasnya minat orang terhadap perubahan itu. Waktu yang diperlukan
untuk mengubah sesuatu juga tergantung pada seberapa baik informasi yang disebarkan,
akses ke keahlian yang dibutuhkan, seberapa banyak penolakan yang muncul, dan
seberapa banyak perubahan akan mempengaruhi rutinitas atau kekuasaan individu atau
posisi individu dalam kelompok. Beberapa Dari faktor-faktor tersebut serta
kepentingannya dalam konteks inovasi akan dijabarkan lebih lanjut di bawah ini. Di
dalam ataupun di luar sistem persekolahan, terdapat banyak contoh fenomena yang
menunjukkan bahwa upaya perubahan sering kali menghabiskan lebih banyak waktu
daripada yang kita harapkan.
Yang kedua, kita akan berkonsentrasi pada bidang keahlian dan sumber daya ekonomi
sebagai contoh tentang hambatan praktis. Dalam perencanaan dan implementasi inovasi,
tingkat pengetahuan dan jumlah dana yang tersedia harus dipertimbangkan. Ini berlaku
terutama jika sesuatu yang sangat berbeda dari praktek di masa lalu akan dilaksanakan,
dengan kata lain jika ada perbedaan yang besar antara yang lama dengan yang baru.
Dalam kasus seperti ini, tambahan sumber daya dalam bentuk keahlian dan keuangan
dibutuhkan. Pengalaman telah menunjukkan bahwa dana sangat dibutuhkan, khususnya
pada awal dan selama masa penyebarluasan gagasan inovasi (penyebarluasan gagasan
inovasi akan dibahas kemudian). Ini mungkin terkait dengan kenyataan bahwa bantuan
dari luar, peralatan baru, realokasi, buku teks dll. diperlukan selama fase awal. Sumber
dana yang dialokasikan untuk perubahan sering kali tidak disediakan dari anggaran
tahunan. Media informasi dan tindak lanjutnya sering dibutuhkan selama fase
penyebarluasan gagasan inovasi.
Dalam kaitan ini penting untuk dikemukakan bahwa dana saja jarang terbukti cukup
untuk melakukan perbaikan dalam praktek. Sumber daya keahlian seperti pengetahuan
dan keterampilan orang-orang yang dilibatkan dalam upaya inovasi ini merupakan faktor
yang sama pentingnya. Dengan kata lain, jarang sekali kita dapat memilih antara satu jenis
sumber atau jenis sumber lainnya, melainkan kita memerlukan semua jenis sumber itu.
Jelaslah bahwa kurangnya sumber tertentu dapat dengan mudah menjadi hambatan.
Kami juga berasumsi bahwa sebagian besar pembaca buku ini pernah mengalami
implikasi kurangnya sumber daya, baik dalam segi keuangan maupun pengetahuan.
Bagian penting dari pekerjaan inovator adalah memperhitungkan berapa banyak dana
inovasi yang dapat ditutupi oleh anggaran rutin dan berapa yang diperlukan dari sumbersumber
lain. Bagaimanakah cara kita mendapatkan sumber dana tambahan itu? Pemetaan
kualifikasi yang sudah dimiliki oleh organisasi dan keahlian tambahan apa yang
dibutuhkan dilapangan, juga merupakan langkah penting dalam perencanaan suatu
inovasi.
Pekerjaan yang penuh komitmen untuk mengintegrasikan anak penyandang cacat di
taman kanak-kanak, sekolah dasar dan sekolah menengah serta di perguruan tinggi
selama 15-20 tahun terakhir ini telah dilakukan dalam kerangka ekonomi yang ketat.
Sejauh tertentu ini telah melibatkan perdebatan tentang alokasi sumber daya yang langka
dalam bidang keahlian tentang proses integrasi. Telah terbukti penting untuk
melaksanakan upaya pengembangan dan pembaruan dalam disiplin ilmu PLB agar
disiplin ini dapat terus menjadi sumber keahlian bagi pelaksanaan integrasi. Banyak orang
yang berpendapat bahwa perlu ada investasi dalam penelitian agar dapat menghasilkan
pengetahuan baru yang relevan, yang berhubungan dengan permasalahan yang mungkin
dihadapi oleh guru-guru PLB di lapangan. Telah dilaporkan pula tentang perlunya
pendidikan lanjut bagi lebih banyak guru.
Di Norwegia, pendidikan kebutuhan khusus sekarang tersedia di seluruh negeri. Selama
beberapa tahun terakhir ini, fokus telah diarahkan pada peningkatan kualitas keahlian ini,
karena investasi dalam kuantitas saja telah terbukti tidak cukup. Fokus pada kualitas telah
pula menjadi semakin penting sebagai akibat dari adanya tuntutan baru terhadap isi
pendidikan dan kompetensi guru. Mendidik lebih banyak guru dan meningkatnya
investasi dalam penelitian merupakan contoh yang baik tentang pentingnya
keseimbangan antara ekonomi dan pengetahuan agar perbaikan yang nyata (dalam hal ini
meningkatnya kualitas sekolah inklusif) dapat dicapai. Tanpa meningkatnya pengetahuan
dan sumber daya ekonomi, mungkin tidak akan menghasilkan integrasi dan inklusi.
Sebagai perluasan dari diskusi mengenai hubungan antara keahlian dan sumber ekonomi,
menarik juga untuk menggali kemampuan guru dalam hal memanfaatkan sumber-sumber
ekonomi. Pendekatan ini dapat terbukti sangat menarik di masa depan, bila sumber daya
yang tersedia lebih sedikit. Juga realistis untuk mengharapkan bahwa dengan gelombang
efisiensi sekarang ini, sektor TK dan sekolah akan lebih sering dipertanyakan daripada
sebelumnya, tentang seberapa baik mereka memanfaatkan sumber daya yang ada sebelum
sumber yang baru dialokasikan. Dapat diasumsikan bahwa hal yang sama akan terjadi
pada guru PLB. Besar kemungkinan orang akan menjadi lebih baik dalam membuktikan
hasil pekerjaan yang telah dilakukannya dan, misalnya, dalam mencari pembenaran dan
mengemukakan argumen tentang perlunya sumber-sumber ekonomi.
Faktor lain yang mempengaruhi perubahan dalam sikap terhadap bidang keahlian adalah
sistem pajak pendapatan baru, yang berimplikasi meningkatnya pembuatan keputusan
oleh dewan dan otoritas anggaran. Ini berarti bahwa proyek PLB tidak lagi dapat
mengandalkan sumber yang dialokasikan oleh pemerintah pusat. Masalah akan muncul
ketika guru harus mengusulkan kebutuhan ekonominya bersaing dengan kelompokkelompok
lain (misalnya kelompok lanjut usia dan pengangguran). Untuk alasan ini
mungkin akan bijaksana bagi guru PLB, guru reguler dan guru prasekolah untuk belajar
ilmu ekonomi agar menjadi lebih baik dalam mendokumentasikan hasil pekerjaannya
sendiri. Ini tidak berimplikasi bahwa filosofi efisiensi klasik, yang bertujuan mencari
keuntungan sebanyak mungkin, harus diadopsi secara otomatis.
Kecenderungan ke arah meningkatnya fokus pada pembangunan pendidikan kebutuhan
khusus, pertama dan utama, harus memberikan keuntungan bagi anak dan orang muda
penyandang cacat. Meningkatnya perolehan sumber ekonomi harus didasarkan atas
keberhasilan dan tidak harus bertujuan untuk meningkatkan anggaran organisasi, dewan
atau pemerintah.
Pemahaman tentang pendekatan inovasi yang didasarkan atas pengalaman Akan
mempermudah untuk mengaitkannya secara konstruktif dengan kenyataan bahwa kita
serta pekerjaan yang kita lakukan bukan tak terpengaruh oleh lingkungan sekitar kita.
Pengetahuan ini juga dapat berarti bahwa kita sedikit terpengaruh oleh hambatan praktis,
dan bahwa kita dapat mengamati dan mengaitkannya dengan bermacam-macam sistem
secara lebih mudah. Dengan menggunakan pengetahuan tentang inovasi, kita dapat
meningkatkan kapasitas untuk bertindak, karena kita mempunyai lebih banyak alternatif.
Memberikan inovasi sebagai satu mata kuliah dalam pendidikan guru PLB telah
menyebabkan mahasiswanya menjadi lebih kritis, baik terhadap bidang keilmuannya
maupun terhadap masyarakat pada umumnya. Mahasiswa juga merasakan bahwa jenis
pengetahuan seperti ini membuat mereka dapat beradaptasi secara lebih baik dengan
perubahan-perubahan dalam bidang pekerjaannya.
Jenis hambatan praktis yang ketiga disebut hambatan sistem. Organisasi atau sistem itu
sendiri dapat menjadi hambatan bagi inovasi. Dalam kasus tertentu, struktur organisasi
dapat menjadi hambatan bila menghadapi dan memecahkan masalah baru. Kebanyakan
organisasi di Norwegia dibangun atas pola birokrasi tanpa adanya perubahan radikal
selama dekade-dekade terakhir ini.
c) Hambatan kekuasaan dan nilai
Kini kita memasuki jenis hambatan inovasi lainnya, yaitu hambatan kekuasaan dan nilai.
Karena kedua jenis hambatan ini berkaitan erat, kita tidak akan membahasnya secara
terpisah. Banyak orang berpendapat bahwa ini merupakan hambatan terpenting bagi
perubahan. Jika ini benar, maka bidang masalah penolakan dalam pekerjaan inovasi itu
akan sedikit berbeda dalam hakikat dan maknanya dibanding dengan yang sudah kita
bahas sejauh ini. Maka tidak akan relevan lagi jika kita membicarakan tentang penolakan
hanya sebagai faktor yang tidak diinginkan atau negatif. Sebaliknya hambatan dapat
menjadi positif atau negatif tergantung pada nilai-nilai yang dianut seseorang.
Pengetahuan tentang hambatan kekuasaan dan nilai telah terbukti dapat memberi peluang
besar untuk manipulasi. Untuk alasan ini, kita akan memberikan perhatian ekstra pada
hambatan-hambatan ini.
Bila dijelaskan secara singkat, hambatan nilai melibatkan kenyataan bahwa suatu inovasi
mungkin selaras dengan nilai-nilai, norma-norma dan tradisi-tradisi yang dianut orangorang
tertentu, tetapi mungkin bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut sejumlah
orang lain. Jika inovasi berlawanan dengan nilai-nilai sebagian peserta, maka bentrokan
nilai akan terjadi dan penolakan terhadap inovasi pun muncul. Jika kita memandang
Norwegia sebagai suatu masyarakat dengan konflik kepentingan, maka tampaknya adil
dan wajar bila kita menghentikan perubahan yang berlawanan dengan keyakinan orangorang
tertentu. Harus juga dapat diterima bahwa orang akan berusaha
mengimplementasikan perubahan yang selaras dengan perangkat nilai yang dianutnya.
Untuk melestarikan dan mempertahankan nilai-nilai, posisi kekuasaan/otoritas sering
digunakan. Oleh karena itu, sulit untuk menentukan apa hambatan nilai itu, dan apa
hambatan yang akan muncul di masa depan. Nanti kita akan kembali ke pembahasan
tentang bagaimana wujud hambatan kekuasaan itu. Pertama-tama, berikut ini adalah
beberapa contoh tentang berbagai kelompok yang mencoba menolak atau mencegah
perubahan yang mereka pandang berlawanan dengan nilai-nilai yang mereka anut.
Konflik nilai terjadi di dalam bidang pendidikan kebutuhan khusus. Orang dapat
mengatakan bahwa PLB di Norwegia dibangun terutama atas dasar falsafah negara
kesejahteraan, di mana tujuannya adalah keseimbangan dan kesamaan kesempatan bagi
semua, yang didasarkan pada semua keterampilan yang dimiliki individu. Negara-negara
telah mengaitkan pendidikan luar biasa dengan nilai-nilai lain seperti hak azasi manusia,
kebaikan dan falsafah kedermawanan. Tentu saja terdapat bermacam-macam kelompok
di dalam bidang PLB dengan perangkat nilai yang berbeda-beda. Jika inovasi
diimplementasikan atas dasar salah satu dari perangkat-perangkat nilai ini, kemungkinan
besar inovasi itu akan menghadapi penolakan atas dasar nilai.
Apakah kita berbicara tentang penolakan terhadap perubahan atau terhadap nilai-nilai
dan pendapat yang berbeda, dalam banyak kasus itu tergantung pada definisi yang kita
gunakan. Banyak inovator telah mengalami konflik yang jelas dengan orang lain, tetapi
setelah dieksplorasi lebih jauh, ternyata mereka mendapati bahwa ada kesepakatan dan
aliansi dapat dibentuk. Pengalaman ini dapat dijelaskan dengan kenyataan bahwa sering
kali orang dapat setuju mengenai sumber daya yang dipergunakan. Kadang-kadang hal ini
terjadi tanpa memandang nilai-nilai. Dengan demikian kesepakatan atau ketidaksepakatan
di permukaan mudah terjadi dalam kaitannya dengan aliansi. Sering kali aliansi itu
terbukti sangat penting bagi implementasi inovasi.
Tidak mungkin konsep integrasi dan inklusi akan diterima di Norwegia tanpa
membangun aliansi antara berbagai perangkat nilai yang berlainan. Mungkin benar untuk
mengatakan bahwa pergerakan ini dimulai dengan falsafah kesetaraan yang dianut di
negara-negara Skandinavia. Terdapat banyak orang yang meyakini dan turut
mempropagandakan perubahan nilai ini, antara lain adalah para penulis dan jurnalis.
Namun, momentum integrasi yang sesungguhnya baru terjadi ketika pusat-pusat
kepentingan politik dan ekonomi menyadari kemungkinan dampak perubahan itu
terhadap prakteknya. Misalnya, orang melihat lebih dekat ke fasilitas-fasilitas layanan
khusus dan menemukan bahwa pengoperasian fasilitas tersebut sangat mahal. Maka
aliansi terjalin antara mereka yang ingin menghemat uang dan mereka yang
memperjuangkan kesamaan kesempatan pendidikan. Setelah itu kita dapat menyaksikan
bahwa implementasi integrasi dilaksanakan dengan penuh semangat dan begitu cepat
sehingga proyek-proyek khusus dijalankan tanpa mempertimbangkan alternatif lokal yang
sesuai. Hasilnya adalah bahwa sekarang orang berbicara tentang kerusakan integrasi.
Sementara itu, telah dirasakan bahwa dalam jangka pendek tidak akan ada penghematan
seperti yang semula diharapkan.
Resiko kehilangan mitra aliansi yang penting itu besar dalam keadaan di mana salah satu
kepentingan mitra dengan perubahan itu berkurang atau hilang. Dengan hilangnya mitra
aliansi, proses perubahan itu terancam berhenti dan praktek lama diberlakukan kembali.
Dalam upaya untuk memperoleh dukungan baru, mudah untuk beraliansi dengan orang
atau kelompok yang terkena dampak negatif dari inovasi. Mungkin kelompok-kelompok
ini mempunyai kepentingan khusus terhadap aliansi atau inovasi itu, yang berbeda dari
mitra-mitra lain dalam dasar nilai atau targetnya. Mungkin mitra baru itu mengubah
strateginya yang memerlukan sumber dana yang jauh dari yang telah dianggarkan.
Contoh lain tentang aliansi antara PLB dengan kekuatan sosial yang berbeda dapat
ditemukan pada tahun 1960-an. Pendidikan bagi penyandang cacat ringan difokuskan
selama periode tahun tersebut. Guru PLB berargumen bahwa penyandang cacat ini dapat
memperoleh kehidupan yang bermakna melalui kerja. Fakta bahwa argumen ini
memperoleh dukungan yang sangat besar mungkin karena pada saat itu industri sedang
dalam masa perluasan dan kekurangan buruh. Oleh karena itu pelatihan yang relevan
dengan industri bagi penyandang cacat dimulai. Jadi, inovasi ini dapat dipandang sebagai
hasil aliansi antara guru PLB, guru-guru lain, psikolog dan pasar tenaga kerja.
Model yang sama dapat diterapkan untuk menjelaskan berdirinya taman kanak-kanak di
Norwegia. Agar kaum perempuan dapat mulai bekerja, diperlukan seseorang untuk
menjaga anak. Taman kanak-kanak dipandang sebagai alternatif yang baik. Bukan hanya
pandangan bahwa anak perlu bersosialisasi dalam kelompok di bawah kepemimpinan
guru prasekolah yang berkualifikasi yang menyebabkan meningkatnya pendirian taman
kanak-kanak itu. Selama tahun 1990-an kebutuhan akan tenaga kerja sangat berkurang
dan ekspansi ekonomi tidak lagi sederas seperti pada tahun 50-60-an. Banyak orang mulai
lagi membicarakan tentang stress yang dialami anak dari keluarga yang kedua orang
tuanya bekerja di luar rumah, dan tentang hak untuk bekerja bagi para penyandang cacat
yang tidak begitu penting lagi. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa tidak ada
usaha-usaha sosial ataupun kegiatan pendidikan yang dilakukan di dalam ruang hampa,
melainkan dilaksanakan dengan kerjasama dan sering ditentukan oleh nilai-nilai dan daya
kekuasaan masyarakat.
Kekuasaan itu sendiri belum tentu negatif dan tidak harus dipandang sebagai hambatan.
Kekuasaan itu perlu untuk memelihara kepentingan dan nilai-nilai. Kekuasaan juga
merupakan bagian penting dari posisi kepemimpinan. Sangat penting untuk menyadari
keberadaan faktor kekuasaan ini dalam organisasi dan sistem sosial dan dapat melihatnya
serta melawannya bila kekuasaan disalahgunakan. Masalahnya adalah bahwa seseorang
yang berada pada tampuk kekuasaan memiliki kesempatan yang besar untuk
memanipulasinya demi keuntungannya sendiri dan demi mempertahankan posisi dan
tradisi struktur. Kekuasaan dapat dengan mudah dipergunakan untuk memberi kelompok
besar tertentu keuntungan yang lebih besar daripada kelompok-kelompok lainnya.
Sayangnya banyak contoh yang menunjukkan kekuasaan dan wewenang terkonsentrasi
pada sekelompok kecil orang dan digunakan dengan cara yang sangat tercela. Tetapi
bukan kekuasaan itu sendiri yang menentukan, melainkan cara menggunakannya dan
nilai-nilai yang berada di belakangnya.
Fenomena lain yang sering menandai kekuasaan adalah bahwa kekuasaan sulit dilihat.
Dalam sistem sosial dan dalam organisasi, sering kali pemimpinnyalah yang memiliki
kekuasaan terbesar. Kekuasaan merupakan sebuah fenomena yang sangat tergantung
pada hubungan antara individu-individu atau kelompok-kelompok serta posisi atasan dan
bawahan di antara mereka. Kekuasaan lebih mudah dilihat dari posisi bawahan daripada
dari posisi pimpinan. Dengan kata lain, kekuasaan lebih mudah terlihat oleh orang yang
dikenainya daripada oleh orang yang menggunakannya. Contoh-contoh di atas tentang
jenis-jenis kekuasaan menunjukan fenomena ketiga yang menarik, yaitu bahwa kekuasaan
tidak secara eksklusif ditentukan oleh faktor-faktor formal seperti jenis posisi atau
senioritas. Kekuasaan dapat juga dipegang oleh orang-orang yang berada pada posisi
bawahan, dan kekuasaan seperti ini disebut kekuasaan informal. Ini dapat berarti bahwa
salah seorang asisten dalam organisasi sebuah taman kanak-kanak yang pada
kenyataannya memiliki pengaruh terbesar terhadap staf TK tersebut dalam pekerjaannya
sehari-hari. Meskipun berada pada posisi pemegang kekuasaan, sang pemimpin hanya
memiliki sedikit kekuanaan yang sesungguhnya. Dari sini kita melihat bahwa kekuasaan
dapat ditransfer dari seseorang kepada orang lain, tergantung pada kualitas dan
keterampilan orang tersebut dalam organisasi atau kelompok.
Memiliki kekuasaan itu mempunyai keuntungan tersendiri, karena dengan kekuasaan itu
orang dapat mengimplementasikan ide-ide dan tujuannya secara lebih mudah dan
memiliki kontrol terhadap banyak langkah dalam proses pembuatan keputusan. Inilah
sebabnya mengapa kekuasaan itu diperlukan jika ingin mencapai tujuan dan
mempertahankan nilai-nilai. Tetapi banyak juga orang yang merasakan bahwa memiliki
kekuasaan itu merugikan. Sebagai orang yang berada pada posisi kekuasaan, orang itu
lebih terekspos pada kritikan dan dia mempunyai tanggung jawab yang besar untuk
menjalankan kekuasaannya dengan cara yang etis. Seseorang yang berada pada posisi
kekuasaan atau mereka yang berjuang untuk mendapatkan kekuasaan dapat menjadi
hambatan dalam suatu inovasi jika alokasi kekuasaan pribadi, profesional atau ekonomi
terancam atau berkurang oleh perubahan praktek-praktek yang telah ada. Jarang sekali
orang menyerahkan kekuasaan atau posisinya tanpa perlawanan selama kekuasaan
tersebut dirasakan menguntungkan. Di pihak lain, sering kali sangat penting menjalin
aliansi dengan orang-orang yang berada pada posisi kekuasaan di mana inovasi akan
dilaksanakan. Dalam kasus apa pun, penting untuk implementasi inovasi bahwa pihak
yang berkuasa tidak menentang proyek tersebut. Jika bertentangan dengan pihak
penguasa, maka inovasi akan tertunda lama atau tidak dapat diselesaikan. Orang yang
berada pada posisi kekuasaan mempengaruhi orang banyak dan dapat menetapkan sangsi
sehingga perubahan-perubahan itu akan menjadi lebih sulit. Informasi, komunikasi, kerja
sama dan keterbukaan merupakan strategi-strategi yang harus diperjuangkan oleh
inovator.
Kita merasa bahwa sadar akan peluang kekuasaan, keuntungan dan kerugiannya, siapa
yang memilikinya dalam berbagai situasi, dan kesadaran akan kekuasaan sendiri
merupakan hal yang sangat penting bagi pengetahuan tentang inovasi. Kesadaran akan
kekuasaan dan struktur kekuasaan dalam organisasi atau sistem dan dalam masyarakat
pada umumnya merupakan prasyarat untuk dapat bekerja secara profesional dan etis.
Mungkin akan bijaksana untuk mempersiapkan diri terhadap kenyataan bahwa hambatan
kekuasaan tidak selalu mudah dilihat. Kekuasaan sulit dilihat karena tergantung pada
situasi dan karena tidak setiap orang ingin memamerkan kekuasaannya yang
sesungguhnya. Banyak upaya untuk menghindari pelabelan kekuasaan, karena masyarakat
Norwegia tidak memandang memiliki kekuasaan sebagai terhormat. Ini benar walaupun
kebanyakan orang menyadari bahwa kekuasaan itu ada dan akan selalu ada. Oleh karena
itu, orang menyembunyikan kekuasaannya dengan menyamarkannya dengan kata-kata
yang lebih dapat diterima seperti kerjasama atau pengambilan keputusan bersama.
Strategi-strategi inovasi
Bagian ini akan membahas berbagai cara mengembangkan inovasi. Berbagai model akan
disajikan dan dibahas di sini. Beberapa tips untuk memperlancar kemajuan akan
diberikan.
Karya-karya Ronald Havelock (1978) akan dipergunakan sebagai referensi utama untuk
pendekatan ketiga terhadap inovasi ini. Yang kita maksud dengan strategi inovasi adalah
pendekatan-pendekatan atau metode-metode yang digunakan untuk
mengimplementasikan sebuah ide yang inovatif. Istilah strategi dan metode digunakan
secara sinonim. Menjelang diselenggarakannya sebuah konferensi besar untuk membahas
berbagai inovasi, Havelock diminta untuk meneliti berbagai inovasi yang pernah
diimplementasikan untuk melihat apakah dia dapat menemukan pola-pola pemilihan
strategi. Dia juga meneliti apakah ada yang digunakan lebih sering daripada yang lainnya.
Havelock meneliti sejumlah besar laporan dan menemukan bahwa terdapat tiga
pendekatan yang digunakan berulang kali, dalam format yang cenderung sama:
a) Model R-D-D (Research – Development – Diffusion = Penelitian –
Pengembangan – Difusi)
b) Model P-S (Problem Solving = Pemecahan Masalah)
c) Model S-I (Social Interaction = Interaksi Sosial)
a) Model Penelitian – Pengembangan – Difusi
R-D-D adalah singkatan dari istilah Research – Development – Diffusion (Penelitian –
Pengembangan dan Difusi [penyebarluasan]). Istilah ini sering ditemukan dalam literatur
tentang masalah ini, bahasa apa pun yang digunakannya. Untuk alasan ini kita akan
menggunakan singkatan R-D-D.
Gambar I: Model Penelitian – Pengembangan – Difusi (Model P-P-D)
PENELITIAN PENGEMBANGAN DIFUSI
Gambar 1 menunjukan strategi R-D-D. Ini merupakan strategi inovasi yang paling sering
digunakan di seluruh dunia dalam bidang apapun, baik itu pekerjaan sekolah, produksi
industri, perdagangan, pertanian dll.
Lima asumsi
Model tersebut didasarkan atas sejumlah asumsi yang penting untuk dipahami agar dapat
mengevaluasinya secara kritis. Kita akan menelaah lima dari asumsi-asumsi ini. Asumsi
pertama adalah bahwa proses inovasi memiliki urutan yang rasional. Ini berarti bahwa
inovasi dipandang sebagai mengikuti urutan logis dengan fase-fase yang didefinisikan
secara jelas, sebagaimana ditunjukkan pada kotak-kotak dalam gambar 1. Jadi, urutan
terjadinya hal-hal ini bukan suatu kebetulan. Menurut model ini, semua inovasi diawali
dengan penelitian dasar dan dilanjutkan dengan penelitian terapan. Penelitian dasar
bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan baru (tuntutan akan orisinalitasnya), tanpa
mempedulikan nilai hasilnya. Penelitian lanjutan dilakukan berdasarkan hasil-hasil ini,
tetapi sekarang dengan memperhatikan penerapan hasil-hasil penelitian itu. Jadi,
penelitian ini mungkin akan memberikan hasil yang dapat mengarah pada praktekpraktek
baru atau mempengaruhi praktek-praktek lama. Untuk lebih menjelaskan model
R-D-D ini, berikut ini kita akan menggunakan contoh konkrit tentang penemuan produk
farmasi, penisilin.
Contoh: Penisilin
Dalam kaitannya dengan eksperimen biokimia, sejenis jamur yang memiliki kemampuan
untuk membunuh bakteri telah ditemukan. Penelitian dimulai, dan seperti yang sudah
sangat diketahui, penisilin dikembangkan dan digunakan untuk menyembuhkan infeksi,
baik pada hewan maupun manusia. Ketika hasil telah diperoleh dan dapat dipergunakan,
fase pengembangan pun dimulai. Di sini orang mencoba menemukan cara yang efektif
untuk mengembangkan dan memproduksi bahan itu secara masal. Penelitian dilakukan
untuk menemukan kondisi di mana bahan itu dapat efektif, dan bahan tersebut
diujicobakan pada hewan dan manusia. Setelah periode percobaan berakhir,
diputuskanlah bahwa efeknya dapat didefinisikan secara cukup baik dan produksi dapat
segera dimulai. Kini tujuannya adalah menjual zat tersebut. Salah satu kelompok sasaran
kuncinya adalah para dokter. Maka proses difusi komersial pun dimulai dan zat penisilin
itu kini telah didistribusikan secara luas. Praktek lama untuk perawatan infeksi pun secara
bertahap berubah.
Asumsi kedua telah diilustrasikan secara implisit di atas, yaitu aspek perencanaan jangka
panjang. Contoh penisilin itu menunjukan bahwa inovasi sering kali merupakan proses
yang panjang. Aspek waktunya sering lebih panjang daripada yang direncanakan semula.
Penggunaan produk itu untuk jangka waktu lama sering menunjukkan efek samping yang
tidak diprediksi. Dalam kasus penisilin, masalah muncul berupa penolakan, imunitas dan
alergi. Maka muncullah kebutuhan untuk mengembangkan jenis antibiotik yang baru. Ini
memperpanjang proses inovasi. Sumber ekonomi tambahan juga diperlukan untuk
penelitian lebih lanjut dan untuk pengembangan produk baru. Metode penaikan modal
mengakibatkan penisilin dijual dengan harga tinggi. Keuntungannya disalurkan kembali
ke penelitian. Menjual produk dengan harga yang sangat tinggi agar memperoleh dana
yang dapat dialokasikan untuk penelitian dan uji coba merupakan praktek yang lazim
dalam dunia bisnis. Dapat dijelaskan bahwa tingginya harga produk itu adalah akibat dari
dimasukkannya biaya penelitian ke dalam harga jual.
Asumsi ketiga adalah bahwa spesialisasi pekerjaan dan koordinasi juga merupakan bagian dari
model R-D-D. Ini berarti bahwa setiap langkah dalam proses inovasi harus dijalankan
oleh ahli atau kelompok ahli. Setiap orang diberi bidang pekerjaan dan tanggung jawab
khusus. Tidak ada satu ahli yang terlibat dalam keseluruhan proses perubahan. Para
peneliti merupakan spesialis yang terlatih dalam sikap maupun metodenya dalam bidang
ini. Profesional lainnya masuk ke dalam fase eksperimentasi dan uji coba. Fase ini sering
disebut fase implementasi, yaitu fase ketika ide-ide diubah menjadi realitas. Implementasi
eksperimental ini merupakan prasyarat penting untuk difusi (penyebarluasan) yang
dilakukan dalam fase berikutnya. Dengan difusi itu, maka praktek baru yang lebih baik
pun menjadi terlembagakan. Dengan mengambil contoh dari industri farmasi, hanya
mendapatkan pengesahan dari otoritas kesehatan saja atas obat itu tidak cukup. Kita juga
harus memastikan bahwa produk tersebut digunakan. Secara sederhana, pekerjaan para
ahli selama fase difusi ini adalah meyakinkan para dokter tentang nilai pengobatan dari
produk tersebut. Untuk membangkitkan minat terhadap produk atau ide inovasi,
pemberian informasi kepada calon pengguna mengenai pengaruh positifnya merupakan
metode yang banyak digunakan. Untuk alasan ini, relatif umum untuk mengundang
dokter-dokter ke konferensi-konferensi di mana perusahaan farmasi mempresentasikan
produk barunya.
Asumsi keempat adalah pengguna pasif dan rasional. Di dalam strategi R-D-D, kita
mempersepsi para pengguna produk yang baru dikembangkan atau ditingkatkan itu
sebagai pihak yang tidak berpengaruh langsung terhadap proses inovasi. Para peneliti dan
ahli-ahli lainnya memperhatikan hal ini. Dengan kata lain, para ahli tahu apa yang paling
dibutuhkan oleh konsumen. Asumsi terakhir yang akan disebutkan adalah bahwa investasi
yang besar diperlukan sebelum difusi atau penyebarluasan dilakukan. Jelas bahwa
diperlukan banyak sumber daya profesional serta akses ke sumber ekonomi untuk
penelitian, eksperimen, pengembangan dan promosi jenis inovasi ini. Jadi, model ini telah
menunjukkan sangat dapat diterapkan dalam bidang komersial.
Kritik terhadap model R-D-D
Titik kuat dari strategi ini adalah pendekatannya yang ilmiah, sistematis dan konsisten
terhadap inovasi. Model ini sudah secara seksama diuji, dipertimbangkan dan telah
digunakan dalam banyak bidang. Terdapat sejumlah besar pengalaman dan banyak
dokumentasi tertulis yang dapat kita pergunakan sebagai bahan banding. Model tersebut
dapat menjadi titik awal untuk melakukan pendekatan terhadap bidang ini. Model itu
mungkin dapat membantu kita dalam menyusun dan merencanakan inovasi.
Bermacam-macam fase model R-D-D ini mengungkapkan perubahan dalam strategi yang
didasarkan atas logika dan rasionalitas. Akan tetapi, ini dapat juga dipandang sebagai salah
satu aspek kelemahan model ini, karena ini bukan satu-satunya persepsi tentang realitas.
Di dalam pendekatan teori inovasi, dikatakan bahwa asumsi tentang rasionalitas itu
mengandung keterbatasan yang kuat. Dalam prakteknya, ini berarti bahwa strategi
tersebut tidak cocok untuk bidang-bidang di mana kekuatan-kekuatan yang irrasional
sangat mendominasi. Mungkin ada orang yang bertanya, sejauh manakah kekuatankekuatan
irrasional itu mendominasi bidang plb, TK atau sekolah. Ini tidak mungkin
diukur, tetapi mungkin ada alasan untuk berasumsi bahwa keyakinan manusia yang
rasional itu tidak selalu valid. Tahun 1970-80-an adalah periode dengan tingkat
skeptisisme yang relatif tinggi terhadap rasionalitas keilmuan. Penyebabnya antara lain
mungkin adalah karena banyak tempat di dunia ini telah sekian lama mendasarkan nilainilainya
pada fondasi keilmuan dan rasionalitas, sehingga hal ini mungkin menjadi salah
satu faktor yang mengakibatkan menurunnya minat orang terhadap agama. Meningkatnya
pergerakan keagamaan dan aliran kepercayaan pada akhir tahun 1980-an dan awal tahun
1990-an dapat dipandang sebagai konsenkuensi dari kemunduran tersebut. Ini mungkin
merupakan ungkapan untuk mencari alternatif. Perenungan kritis tentang model R-D-D
menunjukkan bahwa model ini terlalu sederhana dalam kaitannya dengan dimensi
rasionalitas/irrasionalitas.
Kelemahan lain dari strategi ini adalah persyaratan tentang harus adanya pengguna pasif.
Jika kita adalah pendukung falsafah “orang yang memakai sepatu adalah yang paling tahu
bagian mana yang menyakitkan”, maka penggunaan pendekatan R-D-D secara murni
tidak akan memadai. Model itu akan bertubrukan dengan falsafah ini karena model itu
didasarkan atas pandangan bahwa guru PLB merupakan pihak yang paling mampu
berkomentar tentang “bagian mana yang paling menyakitkan” dan juga paling mampu
“mencocokkan sepatu” itu. Pandangan ini akan tergantung pada kadar keyakinan orang
pada keahliannya. Ini seyogyanya dibandingkan pula dengan tingkatan keyakinan orang
akan proses yang demokratis di mana pengguna sendiri yang merumuskan kebutuhannya.
Kemudian, sudut pandang yang telah dipilih itu akan membentuk latar belakang sikap
terhadap perubahan atau inovasi. Evaluasi tentang aspek-aspek yang kuat dan lemah dari
inovasi akan juga dipengaruhi oleh keyakinan politik, pandangan moral/etika dan
pengetahuan profesional.
Aspek lain, yang dipandang sebagai persyaratan penting bagi strategi inovasi, adalah
bahwa inovasi membutuhkan sumber ekonomi dalam skala besar dan dibangun atas
dasar analisis keuntungan pembiayaan. Jika kita membayangkan model yang digunakan di
lembaga TK dan sekolah dalam bentuk aslinya, kita akan segera menyadari bahwa
lembaga ini kekurangan persyaratan fundamental. Kekurangan kesempatan untuk
memperoleh dan menghemat dana yang dapat digunakan untuk penelitian adalah
karakteristiknya. Ini mungkin merupakan satu alasan mengapa sistem sekolah adalah
salah satu sektor yang mempunyai anggaran penelitian dan pengembangan terkecil. Selain
itu, sistem persekolahan tidak memiliki mekanisme “pemasaran” yang berfungsi dengan
baik. Model R-D-D lebih mudah dicontoh dalam versi yang dimodifikasi.
Penelitian dilakukan dalam sebagian besar bidang profesi ini. Pengguna ide-ide dan
produk-produk yang dihasilkannya mungkin adalah para pegawai institusi pendidikan,
administrasi publik, dan kelompok-kelompok profesional lainnya. Ide inovatif itu
disebarluaskan melalui orang-orang ini dan menghasilkan perubahan dalam praktekpraktek.
Misalnya, sekolah berupaya mempengaruhi anak dan remaja untuk menjalani
gaya hidup yang sehat melalui pengajaran, untuk mencegah sejumlah penyakit dan
permasalahan. Terdapat sejumlah besar penelitian tentang gaya hidup yang menunjukkan
bahwa olahraga, pelatihan, makanan, racun, stress dan kebiasaan seksual sangat
mempengaruhi kesehatan seseorang. Sekolah memandang bahwa merupakan
kewajibannya untuk melaksanakan difusi tentang pentingnya siswa terjun ke masyarakat
dan menjalani kehidupan sesuai dengan pengetahuan yang telah mereka peroleh. Masalah
yang sering muncul dalam fase difusi atau pengguna adalah bahwa jenis inovasi lain
dengan tujuan dan latar belakang komersial yang berbeda bertindak sebagai saingan.
Apakah produk tersebut berupa Coca-Cola, kerupuk, rokok atau hamburger, sering kali
merekalah yang menang. Mereka menang karena mereka mempunyai mekanisme
profesional dengan dukungan dana yang lebih kuat untuk melaksanakan difusi atau
pemasaran dibanding sistem sekolah.
Pertanian sudah lama menjalankan aktivitas inovasi yang didasarkan pada model R-D-D.
Berbagai jenis tanaman pangan, mesin-mesin pertanian dan cara-cara pemupukan telah
diteliti dan diujicobakan pada banyak fakultas pertanian dan di berbagai tanah pertanian
eksperimen. Agar tetap kompetitif, baik dalam kualitas maupun pendapatannya, para
petani harus menggunakan produk yang telah dikembangkan atau produk baru. Seperti
pada contoh penisilin, sejumlah efek samping juga terjadi pada pertanian. Ini sering kali
bertabrakan dengan perangkat-perangkat nilai yang berbeda sehingga membangkitkan
penolakan dari pengguna. Dalam upaya untuk memperoleh lebih banyak susu per sapi,
lebih banyak sayuran tiap meter persegi, lebih banyak telur tiap ekor ayam dan babi yang
lebih gemuk, dengan menggunakan pupuk buatan dan cara beternak yang inovatif, sering
mengakibatkan munculnya perdebatan etika. Inovasi yang dirasakan banyak orang
memiliki efek yang merusak dan inovasi yang hanya memperhatikan keuntungan
ekonomi saja, dalam kasus tertentu telah dikonfrontasikan dengan inovasi tandingan,
misalnya bentuk pertanian alternatif yang tidak menggunakan bahan kimia yang
menyebabkan polusi. Contoh-contoh itu juga menunjukan adanya karakteristik inovasi
yang umum: perbaikan hidup sering kali merupakan hasil dari beberapa kemajuan
inovatif. Sebagai perluasan dari contoh-contoh tersebut, pentingnya pertanyaan
“perbaikan untuk siapa?” harus diajukan pada setiap inovasi. Sementara itu, inovasi juga
harus dievaluasi dalam kaitannya dengan nilai-nilai etika dan profesional.
b) Model Pemecahan Masalah (Model P-S)
Kebalikan dari model R-D-D, model P-S (problem solving) didasarkan pada sistem
konsumen (atau pengguna). Ini berarti bahwa konsumen (pembeli produk) memasuki
proses pengembangan inovasi (produk) pada tahap sedini mungkin.
Dengan demikian, konsumen menjadi peserta dalam proses pengembangan ini. Di dalam
buku ini kita menggunakan istilah “membeli”, baik ketika mempertimbangkan produk
konkrit atau komersial maupun dalam pengertian kiasan ketika mempertimbangkan ideide,
pengetahuan, proyek PLB dan teknik pengajaran, dll.
Gambar 2: Model pemecahan masalah (model P-S)
Asumsi
Sebagaimana halnya strategi inovasi sebelumnya, strategi ini juga didasarkan atas sejumlah
asumsi. Model P-S didasarkan atas pandangan bahwa semua inovasi bermula dari
kebutuhan yang dirasakan. Penggunalah yang menentukan kebutuhannya, bukan para ahli,
politisi atau peneliti (fase 1 dalam model). Kebutuhan yang dirasakan itu biasanya tidak
tepat dan tidak spesifik, tetapi lebih berupa perasaan bahwa ada sesuatu yang tidak benar.
Agar dapat melakukan sesuatu terhadap hal yang belum jelas itu, maka hal itu harus
diperjelas. Oleh karena itu, fase berikutnya (fase 2) adalah diagnosis masalah. Berdasarkan
atas persepsi kebutuhan akan perubahan yang belum jelas itu, kita mencoba
mendefinisikan dan mendeskripsikan masalahnya. Langkah berikutnya dalam proses
perubahan itu adalah mencari pengalaman, ide-ide, informasi dan pengetahuan yang relevan
dengan permasalahan (fase 3). Berdasarkan diagnosis dan pencarian itu, kita harus
memperoleh solusi yang dapat diimplementasikan.
Kritik dan perluasan model
Sebagaimana terlihat jelas dari gambaran di atas, ini merupakan strategi yang sangat
berbeda dari strategi R-D-D. Ini dapat dipandang sebagai model yang senantiasa
memperbaharui dirinya sendiri, yang bekerja di dalam sistem konsumen. Para pengguna
sendirilah yang mengendalikan proses berdasarkan persepsinya tentang kebutuhan akan
perubahan. Mereka juga yang “memanen” pengalaman dan menilai apakah “produk”
SISTEM KONSUMEN
Fase 5 :
Implementasi
Fase 1 :
Kebutuhan yang
dipersepsi
Fase 2 :
Diagnosa
masalah
Fase 3 :
Ide-ide
pengalaman
informasi
Fase 4 :
Yang dianjurkan
yang dihasilkan lebih baik daripada yang sebelumnya. Oleh karena itu model P-S dapat
dikatakan didasarkan atas pandangan yang lebih positif dari konsumen, atas keyakinan
terhadap sumber-sumber yang telah ada di lapangan. Di pihak lain, strategi ini tidak
mungkin dapat menyaingi model R-D-D dalam hal pengembangan dan difusi inovasi
teknologi yang rumit. Dalam banyak kasus akan perlu memiliki akses ke keahlian.
Kebanyakan dari kita tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk dapat berpartisipasi
dalam upaya perbaikan pesawat terbang, sistem alat pembuangan gas atau perawatan
untuk pasien jantung.
Model R-D-D kemungkinan lebih disukai di dalam kebudayaan yang sangat dipengaruhi
oleh model kontrol politik otoriter. Hal yang sama berlaku untuk kebudayaan di mana
kaum elit memiliki posisi yang kuat. Di pihak lain, model P-S akan disukai di dalam
budaya demokrasi dan di masyarakat yang didominasi oleh desentralisasi. Jika kita
menelaah sistem pendidikan Norwegia selama periode tahun 1950 hingga sekarang,
perubahannya akan tampak jelas sehubungan dengan strategi yang diterapkan. Selama
implementasi pembaharuan sekolah pada tahun 1960-70-an, orang lebih loyal pada model
R-D-D. Setelah akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an keyakinan mulai tumbuh
terhadap sumber-sumber yang ada di dalam diri individu untuk memecahkan masalahnya
sendiri tanpa pengaruh dari penguasa. Proyek pengembangan sekolah yang
diimplementasikan selama dua dekade terakhir ini telah sangat didominasi oleh model PS.
Kita juga dapat menemukan contoh-contoh tentang inovasi yang berorientasi pada
pengguna dalam bidang-bidang pendidikan yang relevan lainnya, di mana siswa dan guru
sebagai konsumen utamanya. Banyak dari metodologi yang telah dipergunakan dalam
bidang keahlian pendidikan didasarkan atas sumber daya yang ada di dalam diri individu
dan atas apa yang dipandang penting oleh kelompok siswa. Contohnya adalah berbagai
metode pengajaran, prinsip kerja sekolah dan pendidikan berdasarkan lingkungan
terdekat. Kita juga melihat sikap dasar yang sama dalam bidang konseling dan terapi.
Dalam kaitan ini, model konseling dan terapi juga telah dikembangkan sesuai dengan
model P-S. Banyak di antara pengembangan sekolah dan kurikulum yang dilakukan di
Norwegia juga tampaknya dipengaruhi oleh model P-S.
Akan tetapi, model yang berorientasi pada pengguna mungkin terlalu sempit. Ini
merupakan kekurangan dari strategi ini yang sering disorot. Suatu model untuk
perubahan, yang hanya beroperasi di dalam satu sistem atau organisasi, dapat dengan
mudah berubah menjadi suatu cara untuk mempertahankan status quo, tidak mengarah
pada perkembangan dan perubahan dalam bidang tertentu. Pengalaman menunjukkan
bahwa jauh lebih sulit untuk mengkritik bidang atau permasalahan sendiri bila kita berada
di dalamnya dibanding bila kita berada di luarnya. Dalam inovasi yang didasarkan atas
strategi P-S, hanya mereka yang ikut serta dalam perubahan dalam praktek itu yang
mendapatkan manfaatnya. Jadi, keuntungan untuk diri sendiri merupakan hal yang sentral
dalam strategi untuk perubahan ini.
Kita dapat membayangkan bahwa daerah dengan sistem pendidikan yang sudah
berkembang baik akan dapat berkembang lebih baik lagi jika model P-S dipergunakan.
Dengan demikian, layanan pendidikan di daerah ini akan semakin berbeda dengan
layanan pendidikan di daerah-daerah lain. Kota yang kaya mungkin akan semakin jauh
dari kota yang lebih miskin, dan perbedaan antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan
akan semakin besar. Kedua daerah ini mungkin akan menciptakan sistem persekolahan
yang sepenuhnya didasarkan pengalaman dan kondisi setempat. Tujuan politik untuk
memperkecil perbedaan antara daerah-daerah mungkin akan gagal atau memakan waktu
lebih lama jika pembaharuan negara tidak digunakan sebagai dasar untuk strategi
perubahan.
Jika demikian keadaannya, akankah kita memiliki wajib belajar sembilan tahun? Para
politisi yang memegang peran kunci dalam mengimplementasikan reformasi sekolah itu
telah mengakui bahwa ini merupakan strategi politik yang sengaja dipilih. Berdasarkan
strategi yang dikaitkan dengan ideologi, orang dapat mengimplementasikan idealisme
sosial demokratik egaliter. Dengan diarahkan oleh Dewan Penelitian Sekolah, sistem
pendidikan memulai eksperimen sedemikian rupa sehingga benar-benar tidak ada
kesempatan untuk mundur. Pemungutan suara di Parlemen Norwegia baru dilakukan
setelah proyek ini dilaksanakan dan wajib belajar sembilan tahun telah ditetapkan.
Sekarang, mayoritas mungkin puas dengan falsafah egalitarian [bahwa semua orang
sederajat] telah diperkenalkan sebagai praktek yang umum dalam sistem pendidikan,
tanpa penggunanya sendiri (dalam hal ini siswa, guru dan orang tua) memiliki pengaruh
yang signifikan dalam prosesnya.
Namun, selama lima tahun terakhir ini, kita telah menyaksikan adanya contoh-contoh
yang jelas menunjukkan bahwa praktek egaliter ini sedang mengalami perubahan di TK
dan sekolah-sekolah. Jumlah investasi yang signifikan dalam kekuatan pasar swasta dapat
diamati di mana penekanan pada kaum elit tampaknya menjadi metode atau
konsekuensinya. Untuk sistem pendidikan, ini dapat berimplikasi bahwa tiap sekolah
dipilih dan ditelaah berdasarkan siswanya yang memiliki nilai terbaik. Investigasi akhirakhir
ini terhadap pendidikan tinggi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang besar
dalam strategi penerimaan bagi penyandang cacat. Pemerintah mengusulkan penurunan
batas usia masuk sekolah menjadi umur 6 tahun. Ini menyebabkan wajib belajar menjadi
10 tahun di Norwegia.
Perenungan seputar pertanyaan hipotetik: bagaimanakah wujud sistem pendidikan itu
jika…, menunjukkan bahwa model P-S dapat sangat aplikabel untuk mencapai perbaikan
di satu daerah, sekolah, TK atau jurusan. Tetapi, contoh-contoh juga menunjukan bahwa
praktek perubahan yang melibatkan kelompok yang lebih besar seperti kota, kabupaten
dan organisasi besar akan memerlukan strategi yang dikendalikan dari pusat dan melalui
keputusan politik. Ini diperlukan untuk mencegah efek perubahan yang merugikan karena
prioritas ekonomi setempat.
Berdasarkan kritik terhadap strategi P-S, model dilengkapi dengan konsultan eksternal
atau konsultan proses. Konsultan tersebut dipandang sebagai pembantu dari luar, artinya
bahwa dia tidak termasuk kelompok pengguna. Konsultan ini sering kali adalah orang
yang berpengalaman dengan inovasi serupa di organisasi lain. Konsultan baru digunakan
pada fase ketiga (fase pengumpulan informasi dan ide-ide), yang membantu
menyediakan literatur yang relevan dan mengadakan kontak dengan proyek lain yang
sedang berjalan. Namun setelah beberapa lama, menggunakan konsultan eksternal
menjadi suatu hal yang biasa pada tahap proses di mana kebutuhan yang belum jelas
harus dibuat menjadi spesifik dan dibatasi (fase 2). Di samping itu, konsultan dapat
membantu memberikan saran untuk solusi (fase 4). Meskipun perluasan ini dilakukan,
harus ditekankan bahwa tujuannya adalah untuk memberdayakan kelompok pengguna.
Konsultan eksternal tidak memiliki otoritas untuk mengambil keputusan dan terutama
harus membantu pengguna dalam memperoleh informasi, memberikan saran dan ikut
serta dalam dialog atas nama pengguna. Menurut pendapat kami, terdapat juga kaitan
yang lemah antara saran untuk solusi dengan implementasi.
Mungkin, model P-S sebaiknya diperluas dengan fase 4b, di mana kita memfokuskan
pada pemilihan dan/atau penghapusan solusi alternatif. Pandangan ini didasarkan atas
asumsi bahwa hal ini merupakan bagian yang penting dari pengembangan “kepemilikan”
pengguna inovasi, di mana partisipasi dalam proses pengambilan keputusan adalah
sentralnya (lihat di bawah). Ini berarti bahwa konsultan harus tetap bersikap low profile.
Campur tangan atau pengaruh orang luar mungkin tidak baik bila kita sedang
memutuskan apa yang kita inginkan dan langkah-langkah apa yang harus kita ambil.
Banyak penasihat psikologi/pendidikan yang mendukung pendapat ini. Di dalam tradisi
psikologi humanistik, pentingnya pilihan bebas bagi orang-orang juga ditekankan. Model
ini mungkin juga akan lebih baik jika diperluas dengan fase 6 di mana kita mengevaluasi
proses dan hasilnya. Ini akan meningkatkan efek belajarnya sehingga berfungsi sebagai
bagian dari kualifikasi internal. Perluasan strategi P-S ditunjukan dalam gambar 3.
Gamber 3: Model Pemecahan Masalah yang Diperluas
Kepemilikan dalam inovasi
Dalam literatur tentang berbagai strategi untuk pemecahan masalah, tentang inovasi dan
tentang teori organisasi, pentingnya peserta merasa memiliki ide tentang perubahan atau
proyek itu diberi penekanan. Ini berlaku bagi perubahan yang terjadi pada level individu
maupun pada level sistem. Kepemilikan dalam hal ini merupakan hakikat psikologis.
Kami berpendapat bahwa jika ada tingkat rasa kepemilikan yang tinggi, maka ide tersebut
SISTEM KONSUMEN
Fase 5 :
Aplikasi
Fase 1 :
Kebutuhan yang
persepsi
Fase 2 :
Diagnosis
masalah
Fase 3 :
Ide-ide,
pengalaman,
informasi
Fase 4b :
Pilihan solusi
Fase 6 :
Evaluasi
Phase 4a :
Solusi yang
ditawarkan
Konsultan
Proses
memiliki peluang besar untuk diimplementasikan. Kepemilikan berimplikasi bahwa
pengguna memandang perubahan sebagai solusinya, bahwa ia percaya terhadap
perubahan itu dan meyakini akan membawa perubahan dan karenanya ia merasa
bertanggung jawab untuk menjamin implementasinya. Tanpa kepemilikan ide inovasi
akan sering menghadapi penolakan, diabaikan atau disabotase.
Partisipasi pengguna, yang dimaksudkan untuk mengembangkan rasa kepemilikan, dapat
juga didasari oleh nilai-nilai sosial demokratik berupa kesetaraan dan pengambilan
keputusan bersama. Kepemilikan paling baik dikembangkan melalui pengambilan
keputusan bersama dan partisipasi aktif.
Pengetahuan tentang penetapan kepemilikan berimplikasi adanya potensi besar untuk
penyalahgunaan dan manipulasi. Dilemanya adalah bahwa tidak selalu perubahan faktual
itu sendiri yang menyebabkan dijalankannya praktek-praktek baru atau yang lebih baik.
Para pengguna juga merupakan bagian dari proses inovasi itu. Kenyataan bahwa mereka
diminta, diperkenankan untuk mengungkapkan pendapat dan perasaannya, dan dapat
memberikan saran, dan bahwa masukannya itu didengar, ini berarti bahwa peluang untuk
perubahan dan difusi itu meningkat secara drastis. Dengan kata lain, perasaan menjadi
bagian yang berpengaruh itu dipersepsi sebagai demikian pentingnya sehingga apa yang
diimplementasikan kadang-kadang tampak kurang menarik lagi. Dalam hubungannya
dengan PLB, “tuntutan” untuk mendapatkan bagian/pengaruh yang sesungguhnya untuk
menciptakan rasa kepemilikan inovasi itu akan sangat sulit atau bahkan mungkin mustahil
dicapai. Ini terkait dengan kenyataan bahwa banyak penggunanya adalah penyandang
cacat yang tidak mampu merumuskan atau menyatakan kebutuhannya sendiri dengan
jelas. Oleh karena itu, guru PLB sering kali harus menentukan dan mendefinisikan apa
yang mereka yakini sebagai kebutuhan untuk perubahan bagi para pengguna ini. Dalam
kasus lain, guru PLB harus mengandalkan pihak lain (misalnya orang tua/kelompok
layanan, peneliti dan literatur) untuk mendapatkan persepsi mereka tentang kebutuhan
penyandang cacat. Ini berarti bahwa dalam inovasi yang terkait dengan PLB, orang bebas
menggunakan persepsi pihak lain sebagai titik awal, dan persepsi tersebut dipergunakan
sebagai dasar usahanya untuk memperbaiki kondisi bagi penyandang cacat. Jadi, tingkat
kerjasama yang dapat ditunjukkan oleh penyandang cacat dengan mempengaruhi,
berpartisipasi dan memiliki rasa memiliki menjadi terbatas. Masalah yang sama akan
dialami oleh kelompok sasaran lainnya yang bekerja dengan siswa dan yang tergantung
pada pihak ketiga untuk menyatakan kebutuhannya.
Perkembangan kepemilikan tampaknya hanya memungkinkan dalam proses inovasi pada
kelompok pengguna yang relatif kecil di dalam sistem atau organisasi yang terbatas. Ini
berarti bahwa penetapan rasa kepemilikan yang kuat terhadap ide inovasi melalui kegiatan
mempengaruhi dan partisipasi yang sesungguhnya dari semua penyandang cacat di
seluruh negeri, misalnya, menjadi tidak memungkinkan. Kepemilikan atas inovasi
pembaharuan itu pada kenyataannya tidak memungkinkan karena terbatasnya akses yang
dimiliki guru PLB ke saluran komunikasi masa. Pengembangan kepemilikan itu menjadi
lebih rumit jika tidak ada informasi yang cukup tentang tujuan inovasi, kemajuannya,
konsekuensinya dan tidak dipenuhinya persyaratan sumber-sumber yang dibutuhkan.
Oleh karena itu, kurangnya perkembangan kepemilikan merupakan salah satu penyebab
lambatnya keterwujudan inovasi yang diprakarsai oleh negara. Dalam kasus seperti ini,
perlu ada variasi dan re-definisi yang sesuai dengan keadaan setempat. Kepemilikan
bukan kekuatan yang tetap. Selalu ada variasi dalam tingkatan kepemilikan. Terdapat
sedikit atau tidak ada informasi tentang seberapa kuat tingkat kepemilikan itu seharusnya
agar perubahan dalam praktek kebiasaan itu dapat bertahan lebih lama dan ekstensif.
Pengalaman menunjukkan bahwa sangat penting bagi rasa kepemilikan dikembangkan
lebih dini dan berlangsung sepanjang proses inovasi. Pengetahuan, keterampilan dan
refleksi tentang kepemilikan harus dipandang sebagai bidang penting untuk
dikonsentrasikan.
c) Model Interaksi Sosial (Model S-I)
Model Interaksi Sosial (social interaction) adalah model inovasi yang agak berbeda
dibanding dua model lainnya. Pertama dan utama ini adalah model yang menjelaskan
difusi inovasi, tetapi di samping itu juga dapat dipandang sebagai strategi inovasi.
Asumsi
Seperti pada model-model lain atau penyederhanaan realitas, model S-I ini juga
didasarkan pada sejumlah asumsi. Salah satu asumsi dasarnya adalah bahwa setiap orang
merupakan anggota satu jaringan sosial atau lebih. Seorang guru PLB mungkin termasuk
anggota jaringan yang berupa kelompok guru atau kelompok personel lainnya.
Kemungkinan besar dia juga termasuk sejumlah jaringan sosial lainnya, misalnya tim
olahraga, klub motor, jemaat gereja atau kelompok memancing. Kebanyakan dari kita
adalah anggota berbagai jaringan yang mempunyai kesamaan minat dan terdapat
hubungan saling percaya di antara para anggotanya karena mereka saling mengenal,
mengetahui apa yang dapat dilakukan oleh tiap individu dan tahu seberapa besar mereka
dapat diandalkan.
Strategi ini juga didasarkan atas asumsi bahwa kedudukan dalam jaringan sosial itu sangat
penting. Dalam kelompok mana pun, selalu ada pemimpin formal ataupun informal
dengan sejumlah pengikutnya. Setelah dua hingga tiga minggu, seorang guru prasekolah
akan dapat mengidentifikasi siapa yang berperan sebagai pemimpin kelompok anak atau
kelas. Mereka adalah anak atau murid yang mempunyai wibawa tertinggi, perilaku yang
berpengaruh, memiliki daya untuk memberlakukan syarat-syarat atau menentukan aturanaturan.
Fenomena sosial yang sama dapat diamati di semua tempat kerja, misalnya di
kantor psikologi pendidikan di sekolah. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
pemimpin formal belum tentu orang yang paling menarik dari sudut pandang inovasi.
Pemimpin dapat juga hanya salah seorang dari kalangan sesama pegawai. Melalui
kekuatan verbalnya, karisma, kebandelan, humor, pengalaman atau caranya mengeluh,
asisten TK dapat juga menjadi orang yang paling berpengaruh terhadap orang-orang lain
dan terhadap lembaganya.
Tempat dan posisi seseorang di dalam jaringannya (misalnya pemimpin, mitra kerja, dll.)
merupakan indikasi yang baik tentang apakah dia akan dapat memasukkan ide-ide baru ke
dalam jaringannya dan berpartisipasi dalam difusi. Setidaknya semakin sentral posisi
seseorang, semakin besar kesempatan orang itu untuk mempengaruhi.
Beberapa peneliti telah mencoba mengklasifikasikan orang-orang menurut sikapnya
terhadap inovasi, seperti “inovator”, “pengikut”, dan “orang yang lamban”. Ada juga
yang mengatakan bahwa “pelopor selalu mempunyai kesempatan untuk menang dan
tidak mempunyai kemungkinan untuk kalah, sedangkan pengikut selalu memiliki
kemungkinan untuk kalah dan tidak mempunyai kesempatan untuk menang”. Calon
pengikut, selama masa mereka merenungkan apakah akan berpartisipasi atau tidak, akan
menemukan sesuatu yang lebih diyakininya. Alasan mengapa model S-I sejauh tertentu
difokuskan pada bagaimana berbagai peran dikembangkan, dipelihara dan saling
mempengaruhi, adalah bahwa model ini dipandang sebagai dapat menentukan siapa yang
menjadi tertarik atau yang pertama membeli produk inovatif itu. Jika kita dapat
mempengaruhi pimpinan dan orang-orang kunci, maka peluang untuk difusi di dalam
sistem itu lebih besar daripada jika kita mulai dengan mempengaruhi beberapa orang yang
lewat. Ini merupakan asumsi dasar yang ketiga dari model S-I, yaitu bahwa kontak informal
itu penting jika kita menginginkan ide-ide inovatif itu mengakibatkan perubahan dalam
praktek-praktek yang ada. Informasi dan komunikasi sangat penting. Kita tidak hanya
terpengaruh oleh informasi yang kita terima dalam bentuk memo dan laporan dari bagian
dan kantor sekolah, tetapi juga oleh informasi dari orang-orang yang kita percaya, kita
kenal baik dan memiliki kontak rutin.
Gambar 4: Difusi melalui jaringan sosial
Lingkaran besar ini menggambarkan jaringan sosial yang berbeda: sekolah lanjutan atas, sebuah tim
olah raga dan sebuah dewan kota. Tiap sistem terdiri dari individu-individu yang ditandai dengan 0.
panah menunjukkan arus informasi.
Misalnya, guru di sekolah lanjutan atas telah melakukan proyek pengajaran selama enam
bulan. Siswa dan guru dibagi menjadi tim-tim menurut kelas dan mata pelajaran. Tema
umum proyek itu adalah: pekerjaan di daerah X. Siswa dan guru memandang hasilnya
baik dan metode mengajarnya sangat menarik sehingga mereka ingin melanjutkannya
hingga akhir tahun ajaran. Enam bulan terakhir digunakan untuk merencanakan proyek
kecil di bawah arahan sekolah. Mereka melakukan ini berdasarkan ide-ide dan data yang
dikumpulkan tentang keinginan-keinginan untuk masa depan dan kebutuhan akan
pekerjaan di kalangan remaja di masyarakat. Permohonan sumber daya tambahan
diajukan kepada dewan kota.
Satu guru di sekolah tersebut adalah anggota klub olahraga Y. Begitu juga salah seorang
anggota dewan kota. Guru menggambarkan secara antusias pengalaman dan rencana
sekolah ketika berlatih di klub tersebut dan anggota dewan kota itu mendengarkannya.
Dia merasa bahwa proyek pengembangan sekolah itu menarik dan mengilhaminya.
Permohonan sumber daya tambahan itu dikabulkan karena “olahragawan” dari dewan
Sekolah Lanjutan Atas
Tim olah raga
Dewan Kota
kota itu telah memahami ide itu dan berhasil meyakinkan para anggota dewan lainnya.
Infomasi dan komunikasi informal dalam kasus ini merupakan faktor penentu terhadap
realisasi ide inovatif. Tanpa sumber daya tambahan proyek tersebut dapat terhenti.
Asumsi keempat yang mendasari model S-I adalah bahwa identifikasi kelompok itu penting
untuk keberhasilan suatu inovasi. Kebanyakan orang memiliki kecenderungan untuk
mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok tertentu berdasarkan minat, nilai-nilai,
kekuasaan, posisi dan keinginan untuk berprestasi. Jika seseorang mengidentifikasikan
dirinya dengan suatu kelompok, maka dia akan lebih mudah menerima dan
menindaklanjuti ide inovatif yang mungkin dikembangkan oleh kelompok itu. Tekanan
kelompok merupakan fenomena yang dikenal, baik dalam hal pembinaan kepemilikan
maupun difusi inovasi. Dalam hubungannya dengan pemikiran baru dan perubahan
perilaku, bukan hanya individu yang menjadi sasaran, tetapi juga kelompok. Terlebih lagi,
sejumlah pendekatan komersial didasarkan atas pengetahuan mengenai potensi
identifikasi kelompok untuk membuat perubahan.
Asumsi terakhir yang akan kita telaah adalah bahwa difusi inovasi mengikuti kurva S.
Kemajuannya lambat pada fase awal, tetapi diikuti dengan fase difusi yang sangat cepat.
Kurvanya terus meningkat selama beberapa lama, tetapi pada kecepatan yang lebih
lambat. Selama fase inilah orang yang lamban bergabung dengan inovasi. Kurva difusi
kemudian secara bertahap menjadi datar. Kurva S dapat dilihat pada gambar 5. pada
umumnya kita dapat mengatakan bahwa model S-I didasarkan atas informasi yang
memiliki daya untuk memperbaharui diri, dan bahwa “individu adalah ujung tombak
dalam proses inovasi – meskipun tidak demikian - sehingga sistem sosial individu itu
menjadi tidak penting”. Strategi ini juga menuntut agar pengetahuan baru, yang ditransfer
melalui kontak pribadi, disebarluaskan untuk menguji dan mengevaluasi ide inovatif itu.
Namun, kita tidak tahu pasti sejauh manakah kontak itu harus didominasi oleh kedekatan
hubungan di kalangan individu-individu. Penelitian di Amerika menemukan bahwa
sekolah-sekolah sangat jarang mengikuti sekolah perintis yang tetangganya. Di pihak lain,
sekolah yang menciptakan ide baru itu sering dikunjungi oleh guru-guru dari negara
bagian lain. Fenomena ini disebut efek mercu suar. Anehnya adalah bahwa mereka yang
jauh yang lebih sering memulai proyek serupa di sekolahnya, bukan mereka yang
bertetangga dengan perintis inovasi. Penjelasan yang diberikan terkait dengan hakikat
psikologi dan komunikasi. Sekolah tetangga merasa bahwa mereka hanya dapat
memperoleh sedikit prestise karena sekolah perintis telah mendapatkan semua perhatian.
Jika sekolah tetangga harus memulai proyek yang serupa, mereka takut dianggap sebagai
“peniru”. Penjelasan lainnya adalah bahwa orang yang tinggal jauh dari “tempat
kejadian”, harus berjalan jauh sehingga dapat membawa pulang lebih banyak ide.
Satu faktor yang sudah disebutkan adalah bahwa difusi sering kali tidak dilaksanakan di
dalam sistem selain dari sistem yang memerlukan perbaikan dalam prakteknya. Untuk
meraih keberhasilan dalam difusi inovasi, penting untuk merencanakan fase difusi ini
juga. Secara sederhana, tampaknya kita dapat mengendalikan difusi dengan
mengendalikan siapa menemui siapa.
Jumlah
Peserta
Gambar 6: Kurva difusi
Mereka yang memutuskan untuk ambil bagian dalam proses perubahan, sangat
membutuhkan informasi. Inovator harus berusaha memenuhi kebutuhan ini. Mereka juga
sangat membutuhkan informasi pada tahap awal setelah mereka memutuskan untuk
membeli ide tersebut. Ini terkait dengan kenyataan bahwa perubahan menciptakan
ketidakpastian dan rasa tidak aman bagi kebanyakan orang. Ini juga berhubungan dengan
apa yang sudah disebutkan di atas, yaitu bahwa kalkulasi biaya/keuntungan yang
dilakukan oleh “pembeli” (mereka yang bergabung dengan inovasi) sebelum mereka
memutuskan apakah ide tersebut baik atau buruk. Perhitungan keuntungan/biaya ini juga
terkait dengan kenyataan bahwa inovasi jarang menguntungkan semua pihak. Akan selalu
ada orang yang mempersepsi inovasi secara lebih positif daripada orang lain. Inovasi
sesungguhnya tidak akan menarik bagi mereka yang lamban, karena orang-orang ini tidak
akan mengalami keuntungan ataupun kerugian.
Semua yang berpartisipasi dalam proses inovasi memiliki kebutuhan untuk mengetahui
tujuannya, sasaran dan perencanaan atau strategi yang akan dipergunakan. Demikian pula,
informasi tentang keterlibatan orang lain, aspek waktu, penggunaan sumber-sumber dan
energi, merupakan faktor penting bagi pandangan mereka terhadap inovasi, baik positif
ataupun negatif. Hal-hal yang harus dilakukan atau diubah oleh mereka sendiri dan halhal
yang mungkin merugikan bagi mereka dalam situasi baru nanti harus juga diperjelas.
Daftar Pustaka
Havelock, R.G. 1978. The Change Agent’s Guide to Innovation in Education. New
Jersey: Englewoods Cliff.
UNESCO. 1995. Twenty-eighth session, Item 5.13 Paris 95 (http://www.unesco.org/)
Skogen, Kjell. 1997. An Introduction to the Process of Innovation. Chapter II in DSSIproject.
Socrates Programme 25234-CP-1-96-NO-ODL (http://www.uoc.es/dssi/)